Kisah Rasululloh Sedih, Marah dan Melaknat

Penulis: Ahmad Sarwat, Lc., MA

Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang penyabar dan tidak pendendam. Meski pernah merasakan kesedihan seperti ditinggal istri tercinta, Khadijah, dan paman yang telah merawatnya sejak kecil, Hamzah bin Abdul Muthalib, Rasulullah tidak pernah sampai marah.

Meski begitu, Rasulullah ternyata pernah sangat bersedih hingga marah. Sikap yang mungkin berbenturan dengan karakter Rasulullah yang begitu tenang dan sabar.

Lantas apa yang membuat Rasulullah begitu marah?

Kisah itu dikenal dengan tragedi Bi’r Ma’unah. Dalam tragedi itu, 70 sahabat terbaik Rasulullah dibantai saat mereka menjalankan misi menyebarkan ajaran Islam.

Kisah ini bermula ketika Rasulullah mendapat kabar yang cukup menggembirakan, tentang beberapa kaum yang ingin memeluk Islam. Kaum itu sampai meminta Rasulullah mengirimkan utusan untuk mengajarkan Islam kepada mereka.

Permintaan itu dijawab Rasulullah dengan mengirim 70 sahabat terbaik. Kedudukan mereka sangat istimewa karena penguasaan atas ilmu agama yang jauh dibandingkan sahabat-sahabat lainnya.

Para sahabat istimewa ini bahkan sampai tidak dibolehkan ikut perang. Ini semata-mata agar mereka mendalami ilmu agama seperti diajarkan Rasulullah secara langsung sehingga bisa menyebarkan Islam.

Bisa dikatakan, mereka adalah kader terbaik Rasulullah. Para sahabat itu sudah mencapai derajat qurra’, yang tidak hanya hafal Alquran, melainkan juga paham hukum-hukum syariat dan berpengetahuan luas.

Para sahabat itu kemudian berangkat melaksanakan perintah Rasulullah mengajarkan Islam kepada kaum, yaitu Bani Sulaim. Peristiwa kelam terjadi ketika mereka sampai di sumur Ma’unah.

Di dekat sumur itu, mereka dibantai secara kejam oleh Bani Sulaim. Kabar itu sampai ke telinga Rasulullah dan membuat Sang Nabisangat terpukul.

Selama sebulan penuh, Rasulullah marah dan mengucapkan laknat kepada para pelaku pembantaian. Peristiwa itulah yang menjadi dasar disyariatkannya Qunut Nazilah.

Doa ini dibaca Rasulullah setiap kali sholatwajib berjemaah selama sebulan penuh. Berarti dalam sehari, doa ini diucapkan sebanyak lima kali dan diamini oleh para sahabat.

Bahkan, lafal doa yang diucapkan Rasulullah sangat mengerikan. Seperti tertuang dalam hadis riwayat Bukhari yang artinya,

” Ya Allah, keraskanlah siksa-Mu atas (kaum) Mudhar. Ya Allah, jadikanlah atas mereka musim kemarau seperti musim kemarau (yang terjadi pada zaman) Yusuf.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah sampai menyebut nama-nama pelaku pembantaian 70 sahabat itu dalam doanya.

” Ya Allah, laknatlah si fulan, si fulan, dan si fulan.”

Jarang-jarang kita mendengar doa Rasulullah SAW yang redaksinya sangat menyeramkan itu. Biasanya yang kita tahu, Rasulullah SAW mendoakan agar mereka dapat hidayat dari Allah SWT. Tetapi kasus ini memang agak lain.

Kisahnya dimulai Rasulullah SAW mendengar kabar bahwa ada satu kaum ingin masuk Islam. Dan kabarnya mereka meminta kepada Rasulllah SAW agar beliau mengirim para ulama ahli agama yang akan mengajarkan kaum itu berbagai ilmu agama.

Disebutkan bahwa kaum itu adalah Bani Sulaim yang terdiri dari Kabilah Ri’lin, Hayyan, Dzakwan dan ‘Ushayyah. Mereka pura-pura meminta kepada Rasulullah SAW agar mau mengajarkan mereka tentang Islam, padahal di balik sikap itu ada niat teramat jahat yang disembunyikan.

Tentu Rasulullah SAW berbahagia sekali mendengar kabar ini. Sebab kaum itu bukan sekedar ingin masuk Islam, malah bersedia untuk memperdalam ilmu agama. Terdengar sebagai sebuah kabar yang indah, bukan?

Maka Rasulullah SAW pun mengutus para ulama yang ahli di bidangnya kepada kaum itu. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sejarah mencatat jumlah mereka mencapai mereka tujuh puluh orang. Tujuh puluh ini terbilang banyak, sebab jumlah ulama terlalu sedikit di masa itu.

Memang nash-nash hadits tidak menyebut istilah ulama saat itu. Sebab memang sebutan untuk para ulama dan ahli syariah di masa itu bukan ulama melainkan qurra’. Sayangnya istilah qurra’ ini seringkali diterjemahkan secara harfiyah sebagai para penghafal al-Qur’an.

Seolah-olah dianggap sama saja qurra’ di masa Nabi SAW dengan para penghafal quran di masa kita, yaitu mereka yang semata-mata cuma bisa menghafal 30 juz Al-Quran, tetapi tidak tahu makna tiap ayat, tidak mengerti isi kandunganya, tidak paham hukum-hukum syariat dan detail maqashid syariahnya. Bahkan nyaris para penghafal Al-Quran di zaman kita ini sama sekali tidak melek bahasa Arab, baik pasif atau aktif. Mereka memang bisa baca Al-Quran tanpa melihat mushaf, tapi jelas-jelas bukan ulama ahli syariah.

Dan itu 180 derajat berbeda dengan qurra’ di masa Nabi SAW. Yang disebut dengan qurra’ di masa itu tidak lain adalah mereka yang benar-benar ahli di bidang hukum-hukum syariah, bukan sekedar penghafal Al-Quran semata. Mereka telah melewati berbagai macam pembinaan langsung dari Rasulullah SAW, bahkan jumlah mereka memang amat terbatas. Dengan bahasa kita zaman sekarang, para qurra’ itulah ulama ahli syariah yang punya ilmu luas dan mendalam tentang detail-detail hukum syariah.

Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang amat populer, I’lamul Muwaqqi’in menyebutkan bahwa tidak semua shahabat Nabi merupakan para ahli agama dan syariah. Yang merupakan ahli syariah dan mengerti cara melakukan ijtihad dan istimbat hukum jumlahnya amat terbatas, hanya sekitaran 120 orang saja. Sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah total para shahabat yang mencapai 124 ribu orang.

Sebab untuk bisa mencetak mereka bukan perkara yang mudah. Tidak mentang-mentang seorang shahabi itu sering ikut mengaji bersama Nabi SAW, lantas dia dianggap sebagai qurra’ atau ahli agama.

Maka kalau sampai Rasulullah SAW mengirim hingga 70-an ulama kepada suatu kaum, berarti ini bukan proyek main-main.

Tetapi apa lacur, sesampainya para ulama kesayangan Nabi SAW di sumur Ma’unah, mereka dibunuh secara kejam semuanya. Pada saat itulah tidak ada kesedihan yang lebih menyedihkan yang menimpa Nabi SAW selain kejadian itu.

Rasa duka yang mendalam serta amarah Rasulullah SAW saat itu boleh jadi sudah sampai puncaknya. Betapa tidak, atas kejadian itu maka kemudian beliau SAW melakukan qunut nazilah, yang intinya mendoakan kehancuran, keburukan dan juga memohon kepada Allah SWT untuk menghujani kaum itu dengan laknat dan kutukan. Doa qunut nazilah ini dilakukan secara berjamaah, diamini oleh seluruh shahabat yang ikut shalat di masjid Nabawi.

Dan dalam sehari doa ini dibaca sampai lima kali, artinya setiap kali shalat, doa mengutuk dan melaknat kaum itu tetap dibaca. Dan nyaris selama satu bulan penuh doa laknat ini tetap dikumandangkan oleh Rasulllah SAW di masjid setiap kali shalat, yang juga diamini oleh semua shahabat.

Bahkan dalam lain riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW dalam qunutnya menyebut-nyebut secara eksplisit nama-nama ‘penjahat’ yang merupakan pimpinan kaum terlaknat itu.

Semua menunjukkan betapa hati Rasulllah SAW terluka amat dalam. Sebab 70 ulama itu bukan asset yang murah. Mereka adalah para kader inti sejati, yang dibina langsung dengan tangan beliau SAW sendiri.

Kalau kehilangan shahabat yang gugur di medan perang pisik, buat Rasulullah SAW sudah biasa. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan seterusnya, adalah perang-perang yang terjadi nyaris secara rutin. Dan dalam tiap perang itu, beliau SAW sudah terbiasa mendengar si fulan dan si fulan dari shahabatnya gugur sebagai syahid.

Tentu Rasulullah SAW bersedih kalau ada shahabat yang gugur di medan jihad. Namun kesedihan beliau SAW tidak seperti sedih dan marah ketika mendengar 70 kader ulama inti dibunuh di sumur Maunah. Sebab nilai para ulama itu memang tidak sama dengan orang awam biasa. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9)

Al-Quran sendiri juga memberikan perlakuan khusus kepada para ulama ini. Kalau shahabat yang lain dipersilahkan ikut jihad semaunya, maka para calon ulama ini benar-benar dilindungi. Salah satunya untuk tidak usah ikut jihad ke medan perang.

Semua ini menujukkan bahwa memperdalam ilmu agama jauh lebih penting ketimbang jihad di medan tempur. Oleh karena itulah Al-Quran secara langsung menegur para calon ulama ini, apabila mereka meninggalkan majelis ilmu dan malah ikutan perang.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah : 122)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Kisah Pedagang Bakso Keliling Kini Berhasil Mendirikan Pondok Pesantren

Karawang – Amo Zakaria seorang pedagang bakso berhasil mendirikan pondok ...