Istilah Pelakor Melecehkan Kaum Perempuan

KARAWANG – Istilah Pelakor (Perebut Laki Orang) atau Suami orang, saat ini mulai menjadi fenomena di tengah-tengah masyarakat. Istilah Pelakor adalah istilah yang sangat seksisme dan lagi-lagi merupakan bentuk produksi istilah yang lahir dari hegemoni budaya patriarki yang karenanya sangat diskriminatif dan semakin mengentalkan streotype pada perempuan. Herannya, justru para perempuan sendiri yang dengan suka rela terus menerus mereproduksi dan mempopulerkan penggunaan istilah ini. Demikian ungkap Ketua PC Fatayat Nahdlatul Ulama Kabupaten Karawang, Mun’imatun Nafiah kepada Fakta Jabar, Rabu (28/2).

“Apakah tidak sadar, istilah ini sungguh melecehkan kaum perempuan sendiri yang mestinya dimuliakan. Menyebut seorang perempuan sebagai pelakor yang kebetulan sedang tak beruntung dihadapkan pada situasi yang boleh jadi bukan dia sendiri yang aktif memulai dan menghendakinya, memberi kesan seolah hendak menyebut bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk melakukan hal yang sama,” ujarnya.

Mun’imatun menambahkan, bahwa seharusnya melihat fenomena ini secara adil. Karena fenomena pelakor bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri. Karenanya tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Apalagi seperti yang sudah terjadi belakangan ini, berikut istilah pelakor itu sendiri, secara sepihak hanya menyalahkan perempuan yang dituduh pelakor. “Seolah-olah situasi tak ideal itu, terjadi semata-mata hanya si perempuan (Pelakor) itu sendirilah penyebab dan pelakunya, itu sungguh tidak adil,” jelasnya.

Padahal, menurut Mun’imatun, bila dikaji lebih dalam dan komprehensif, baik perempuan yang dituduh sebagai pelakor maupun perempuan yang merasa terganggu karena suaminya terlibat hubungan tertentu dengan perempuan lain, sesungguhnya sama-sama menjadi korban. Bahkan, Sang Suami pun juga merupakan korban. Ketiganya adalah korban dari suatu konstruksi sosial yang timpang dan tak berkeadilan, oleh sebab terlalu kentalnya borok materialisme dan sekularisme yang meracuni pola pikir masyarakat. “Lihatlah bagaimana peristiwa Dendy yang lagi viral di medsos. Nyata sekali, pola pikir dan sikap materialis dan sekuler berpengaruh dominan di situ. Akibatnya, semuanya seperti tak memiliki kestabilan mental ketika menghadapi situasi anomali seperti itu,” paparnya.

Sambung masih Mun’imatun menambahkan, ketika seorang perempuan berkerudung menghambur-hamburkan uang secara emosional seperti itu, justeru itu menunjukkan suatu fenomena split personality. Demikian pula ketika seorang perempuan berkerudung terlibat hubungan tak semestinya dengan seorang laki-laki yang masih terikat perkawinan sah dengan perempuan lain, itu juga suatu fenomena split personality. “Split personality itu memang merupakan salah satu penyakit masyarakat modern yang materislistis dan sekularistis,” pungkasnya. (lil)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Bupati Aep : Pendidikan Jadi Salah Satu Skala Prioritas Karawang

Karawang – Bupati Karawang H. Aep Syaepuloh menyampaikan bahwa pendidikan ...