Ngaji Inspiratif: Rasa Malu

Oleh : Ust. Fatih Izzudin
Penyusun : Tim Redaksi Pemuda Keren

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang

Malu adalah kebaikan. Setuju? Malu itu sebagian dari iman. Setuju? Lalu pentingkah rasa malu?Hmm.

Untuk meyakinkan jawabannya mari kita review hadistnya dalam kitab Bukhari dan Muslim, terdapat banyak hadist yang menerangkan masalah sifat malu ini, diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Iman mempunyai cabang lebih dari tujuh puluh. Yang paling utama adalah bacaan: Laa Illaha ‘illa Allah (Tiada Tuhan Selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan hal-hal yang membahayakan di tengah jalan. Dan rasa malu adalah bagian dari keimanan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, mari kita tadaburi hal yang serupa dari kisah inspiratif pada jaman Rasulullah Saw berikut: diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a yang menceritakan bahwa pada suatu kesempatan Rasulullah Saw melalui seorang lelaki dari pada kaum Anshar yang sedang mengingatkan saudaranya supaya meninggalkan sifat malu. Melihat hal ini Rasulullah Saw berkata: “Biarkan dia, karena malu adalah sebagian dari pada keimanan.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Orang Anshar tersebut memberi nasihat kepada saudaranya supaya meninggalkan sifat malu serta menjelaskan sisi negatif dari pada sifat malu tersebut. Dia melakukan hal ini karena ia merasa bahwa saudaranya mempunyai sifat malu yang berlebihan. Namun Rasulullah Saw tidak setuju dengan sikap orang Anshar ini.

Dari untaian kedua hadist tersebut, dapat kita ambil hikmah bahwa malu merupakan sebagian dari keimanan dan juga salah satu ciri keimanan seseorang. Malu adalah sifat yang berada dalam diri seseorang yang dapat mencegah dari pada melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Jadi ga boleh lagi ya, mengucilkan temen-temen yang memiliki rasa malu yang tinggi. Malah kita mesti banyak belajar dari mereka.

Pesan ustadz berdasarkan Imam Ibnu Qoyim : (Dalam Bahasa Arab, Malu itu Al-Haya’) “Orang yang malu, yang memiliki rasa malu adalah orang yang hatinya hidup. Jadi kalo tidak ada rasa malu dalam dirinya berarti apatuh? Orang yang mati.”

Malu itu penting, iya kan? Lalu punyakah rasa malu?

Pada dasarnya sifat malu ini ada dua: 1) Telah tumbuh (malu yang merupakan watak asli manusia), dan 2) Ditumbuhkan (malu yang diupayakan dengan mempelajari syariat).
Inget lagi memiliki rasa malu sebagian dari keimanan seseorang. Maka dengan memiliki dan mengusahakan menanamkan rasa malu ada dalam diri kita termasuk ke dalam usaha memperbaiki iman.

Kisah Usman Bin Affan

Kita review kisah inspiratif pada jaman Rasulullah Saw berikut: Usman bin Affan r.a terkenal sebagai sahabat yang sangat pemalu sehingga malaikat pun malu kepadanya. Aisyah mengisahkan bahwa pada suatu hari dirinya sedang bersama Rasulullah Saw. Kemudian datanglah Abu Bakar r.a dan meminta ijin untuk masuk, Rasulullah Saw mempersilahkan ia untuk masuk dan Rasulullah tetap dalam keadaan semula. Tidak lama kemudian Umar bin Al-Khatab datang dan meminta ijin untuk masuk, Rasulullah Saw mempersilahkan ia untuk masuk dan Rasulullah tetap dalam keadaan semula. Setelah itu, datanglah Usman bin Affan dan meminta ijin masuk, Rasulullah pada kesempatan ini membetulkan baju terlebih dahulu sebelum keluar dan mempersilahkan Usman untuk masuk rumah. Aisyah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasul, ketika Abu Bakar datang kepadamu dan mengutarakan keinginannya, Rasul tidak berbenah diri. Begitu juga ketika Umar datang dan menyampaikan keperluannya, Rasul juga tetap dalam keadaan semula. Namun, ketika Usman yang datang Rasul duduk dengan rapi dan membetulkan pakaian yang dipakai?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Aisyah, Usman adalah orang yang sangat pemalu. Jika aku mempersilahkan ia untuk masuk sedangkan aku masih dalam keadaan semula, aku khawatir ia tidak akan masuk dan tidak akan menyampaikan keinginannya.”

MasyaAllah, dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran baru bahwa seseorang yang 4memiliki kemuliaan yang baik hendaklah kita muliakan seseorang tersebut dengan kemuliaan yang baik pula.

Rasa Malu Rasulullah SAW

Rasulullah Saw adalah seorang yang pemalu bahkan beliau sangat pemalu. Sehingga para sahabat mengatakan bahwa rasa malu yang dimiliki Rasulullah Saw melebihi rasa malu yang dimiliki para gadis. Meskipun Rasulullah Saw mempunyai rasa malu, namun beliau tidak pernah sedikitpun merasa malu melakukan aktivitas dakwah, menyampaikan risalah, membela kebenaran, dan menegakkan keadilan. Beliau tidak pernah malu melaksanakan ketakwaan kepada Allah Swt. Disaat menghadapi kezaliman, Rasul tidak segan-segan untuk marah, namun kemarahan beliau bukan karena dorongan nafsu. Kemarahan beliau adalah untuk membela agama Allah Swt lebih dari itu Rasul juga tidak jarang mengangkat senjata menghadapi orang-orang musyrik yang menentang agama Allah Swt dan menghalangi dakwahnya. Hal ini Beliau lakukan demi tersebarnya ajaran Islam dan demi kemuliaan agama Allah Swt.

Rasa Malu Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist

Kisah Musa dan dua orang wanita yang sedang meminumkan ternaknya.
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu. Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Madyan ia berdoa (lagi): “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (Q.S. Al-Qashash (28) : 20-25)

Kisah Rasulullah yang menerapkan rasa malu terhadap sahabat-sahabatnya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Q.S. Al-Ahzab (33) : 53)

Malu Terhadap Nikmat Allah SWT

Pada suatu hari Rasulullah Saw memberi nasihat kepada para sahabat, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, Alhamdulillah kami sudah mempunyai rasa malu.” Rasul kembali berkata, “Bukan seperti itu yang saya maksudkan. Rasa malu yang sebenar-benarnya terhadap Allah adalah jika kamu dapat menjaga kepala dan isinya, perut dan isinya, dan mau mengingat kematian dan musibah. Sesiapa yang ingin (merasakan kenikmatan) di akhirat (hendaknya) meninggalkan perhiasan dunia. Sesiapa dapat melakukan hal itu maka dia benar-benar malu kepada Allah SWT.” (*)

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Kisah Pedagang Bakso Keliling Kini Berhasil Mendirikan Pondok Pesantren

Karawang – Amo Zakaria seorang pedagang bakso berhasil mendirikan pondok ...