Karawang – Kasus rudapaksa terhadap anak yatim yang masih duduk dibangku sekolah SMP berinisial K di Karawang berbuntut panjang. Mirisnya lagi, setelah menjadi korban rudapaksa oleh 3 pemuda sampai hamil 7 bulan, korban K justru harus dihadapkan persoalan lain, yakni dikeluarkan dari sekolahnya.
Orang tua korban, Dwi mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan pihak sekolah yang meminta anaknya menandatangani surat pengunduran diri.
“Saya tadinya berharap anak saya masih bisa bersekolah di situ, walaupun secara online. Tapi pihak sekolah meminta saya menandatangani surat pengunduran diri dan malah menyuruh saya mendaftarkan anak ke sekolah paket,” ungkap Dwi.
Bahkan, kata Dwi, pihaknya malah diberikan nomor kontak guru sekolah paket dari pihak sekolah, seolah sudah ada skenario bahwa anaknya tidak bisa lagi bersekolah secara reguler.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Sekolah Nedi Somantri membantah adanya paksaan atau intimidasi terhadap korban dan keluarganya.
Ia menyatakan bahwa pengunduran diri dilakukan atas permintaan orang tua korban sendiri.
“Saat itu, orang tua korban ingin memindahkan anaknya ke Jawa, karena itu kami meminta K untuk menandatangani surat pengunduran diri. Jadi tidak ada tindakan intimidatif,” ujar Nedi.
Namun, pernyataan berikutnya memunculkan kontroversi. Nedi menyinggung bahwa kasus pemerkosaan ini berkaitan dengan pergaulan korban.
“Biar objektif, bawa saja korban dan orang tua korbannya ke sini. Walaupun korban pemerkosaan, itu kan pergaulan. Siapa yang menjebak? Bawa pelakunya sekalian ke sini,” tegasnya.
Nedi juga mengaku tidak mengetahui secara pasti proses pengeluaran siswa dari sekolah. Ia menyebut bahwa setiap keputusan sekolah harus melalui prosedur yang jelas, seperti pemberian Surat Peringatan (SP) sebelum seorang siswa dikeluarkan.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Karawang, Cecep Mulyawan, mengakui bahwa pihak sekolah memang telah melaporkan pengunduran diri K.
“Dari kepala sekolah sendiri sudah melaporkan ke dinas bahwa siswa itu (sebenarnya) mengundurkan diri. Ada buktinya, fotokopinya juga sudah disampaikan ke saya. Mungkin karena malu atau alasan lain,” terang Cecep.
Namun, ia menegaskan bahwa kesempatan belajar tetap terbuka bagi K. Jika tidak memungkinkan untuk kembali ke sekolah secara langsung, pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa menjadi solusi.
“Ya bisa saja dilakukan, seperti saat COVID-19 dulu. Kepala sekolahnya juga sudah menyatakan ke saya, kalau mau pembelajaran jarak jauh ya silakan,” katanya.
Meski demikian, ia menyadari bahwa kembali bersekolah baik secara langsung maupun daring bisa menjadi tantangan tersendiri bagi K mengingat kasusnya sudah tersebar luas di masyarakat.(aip/fj)