
foto ilustrasi
KARAWANG – Di tengah kemajuan teknologi dan menjamurnya transportasi berbasis aplikasi, masih ada sejumlah tukang becak yang tetap setia dengan profesinya. Mereka bukan hanya bertahan karena pilihan, melainkan karena keterbatasan usia, kondisi ekonomi, dan semangat untuk tetap bergerak. Seperti yang dirasakan Sukarta(64) dan Sukarto(63), dua tukang becak di Karawang yang telah mengayuh selama puluhan tahun, kini harus menghadapi realitas, makin sepinya penumpang akibat hadirnya ojek online.
Sukarta, atau yang akrab disapa Ekeng, telah menjadi tukang becak sejak tahun 1997. Pria berusia 64 tahun ini tinggal di kawasan Adiarsa, Karawang. Sejak lebih dari dua dekade lalu, ia menggantungkan hidup dari roda becaknya. Dulu, saat belum ada ojek online, penghasilannya sebagai tukang becak bisa mencukupi kebutuhan keluarga bahkan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi.
“Kalau dulu, anak saya bisa kuliah. Walaupun beasiswa, tetap aja butuh uang buat dorongan. Dulu rame, sekarang mah susah,” ucapnya ketika ditemui di pangkalan becak wilayah Adiarsa pada Selasa (01/07/2025).
Kini, Ekeng mengaku sehari-hari bisa saja pulang tanpa satu pun penumpang. Kadang, untuk tetap beraktivitas dan mencari pemasukan, ia membantu mencuci motor orang atau melakukan pekerjaan kecil lainnya seperti membersihkan pekarangan.
“Kadang gak narik sama sekali. Kalau nggak ada penumpang, ya disuruh orang nyuci motor, atau ngoret-ngoret. Kalau enggak, ya mangkal aja di pangkalan, daripada di rumah gak ngapa-ngapain,” ungkapnya.
Tarif pun semakin ditekan oleh kehadiran transportasi online. Dulu, untuk jarak tertentu ia bisa mendapat bayaran Rp20.000. Kini, penumpang menawar hingga Rp15.000. Pendapatan per sekali narik pun sangat bervariasi, tergantung jarak.
Hal senada dirasakan oleh Sukarto, tukang becak berusia 63 tahun asal Purbakala, Desa Nagasari. Ia mulai menjadi tukang becak sejak tahun 1986, tepat setelah menikah dan kehilangan pekerjaan di proyek. Sejak saat itu, ia tidak berpaling ke profesi lain dan terus mangkal di kawasan sekitar Stasiun Karawang.
“Dulu mah banyak banget yang naik becak. Apalagi kalau hujan, malah makin rame. Sekarang mah ujan gak ujan juga tetap kosong,” ucap Sukarto.
Sudah sejak awal tahun 2000-an, ia merasakan dampak kehadiran ojek yang mulai mencuri pasar mereka. Jumlah penumpang berkurang drastis, bahkan tak jarang dalam sehari ia tidak mendapatkan penumpang sama sekali.
“Sekarang mah nol. Dari pagi belum narik sama sekali,” ujarnya.
Sekarto bercerita, dulu ia sempat bekerja di pabrik selama dua tahun setelah lulus dari Sekolah Teknik (ST) tahun 1983. Namun setelah keluar, ia kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Usianya yang terus menua semakin menyempitkan peluang kerja.
“Kalau ada pekerjaan lain mah saya mau. Tapi makin tua makin susah. Gak semua bisa nerima kita kerja,” kata Sukarto ketika diwawancarai Selasa (01/06/2025).
Kini, ia hanya berharap pada rejeki yang datang sesekali. Selain narik becak, jika ada yang menyuruh beberes rumah atau pekarangan, ia bersedia mengerjakan. Namun, sudah hampir satu tahun ini, pekerjaan sampingan pun tak kunjung datang.
Profesi tukang becak kini makin terpinggirkan. Tidak hanya karena perubahan gaya hidup masyarakat, tetapi juga karena minimnya perhatian terhadap nasib para pekerja sektor informal ini. Transportasi online menawarkan kemudahan, kecepatan, dan fleksibilitas yang sulit ditandingi oleh transportasi tradisional seperti becak.
Namun, di balik kekalahan mereka dalam kompetisi pasar, para tukang becak menyimpan nilai keteguhan dan kerja keras. Mereka tetap bangun pagi, mendorong becaknya ke jalan, berharap pada keajaiban hari itu, mungkin ada satu atau dua penumpang yang mau menggunakan jasa mereka.
Becak mungkin tak lagi menjadi pilihan utama masyarakat urban, tetapi di balik pedalnya yang terus dikayuh, masih ada nyawa-nyawa yang menggantungkan harapan. Sukarta dan Sekarto bukan sekadar mengayuh kendaraan, mereka mengayuh waktu, kenangan, dan semangat untuk tetap bertahan di tengah arus zaman yang terus berubah.
Di tengah jalan-jalan kota yang kini didominasi motor dan mobil, becak perlahan tersingkir, namun belum punah. Mereka masih ada, di beberapa tempat seperti dekat stasiun, alun-alun, atau di beberapa tempat umum lainnya. Mereka adalah pengingat bahwa tidak semua orang bisa beradaptasi dengan teknologi, tetapi setiap orang berhak untuk tetap hidup layak. Selama kaki masih bisa mengayuh dan hati masih kuat bertahan, roda itu akan terus berputar, meski lambat, meski sepi, tapi tak pernah benar-benar berhenti.(***)
tim penulis :
Cintya Noor Marlianti/Ochim/Fakta Jabar