“Sorodot Jempol”, Kembang Ros Tradisional yang Bangkit Lewat Sentuhan Digital

Sartikah,pengrajin kembang ros

Karawang — Di tengah derasnya arus kuliner modern, seorang ibu rumah tangga di Karawang membuktikan bahwa makanan tradisional tak pernah kehilangan tempat di hati para penikmatnya.

Ia adalah Sartikah (34), pengrajin kembang ros, camilan jadul berbahan dasar tepung beras yang memiliki ciri khas bentuk menyerupai bunga dan rasa gurih renyah, yang masih setia menjaga warisan kuliner ini sejak delapan tahun lalu.

Uniknya, kembang ros buatan Sartikah memiliki nama khas “Sorodot Jempol”, sebuah sebutan yang lahir dari proses pembuatannya.

“Dinamakan begitu karena adonan dibentuk dengan tekanan jempol, sorodot gitu, sampai jadi bentuk bunga,” jelasnya sambil tertawa kecil.

Dalam seminggu, ia bisa memproduksi kembang ros sebanyak tiga hingga empat kali, tergantung kondisi cuaca. Sebab, proses pengeringan kembang ros masih mengandalkan sinar matahari langsung.

“Kalau lagi cerah, bisa produksi terus. Tapi kalau hujan, ya terhambat,” tutur Ibu Sartikah.

Dibuat dari campuran tepung beras asli dan sagu, camilan ini tidak hanya mengandalkan rasa nostalgia, tetapi juga mengedepankan kualitas.

Bukan sekadar makanan ringan, bagi Ibu Sartikah, kembang ros adalah simbol pelestarian budaya kuliner yang tak boleh punah dimakan zaman.

“Ini makanan lama, makanan kampung. Saya belajar dari mertua dulu. Sayang kalau tidak dilestarikan,” ujarnya.

Dalam memasarkan produknya, Ibu Sartikah memanfaatkan platform digital seperti Facebook dan berbagai situs jual beli makanan lokal.

Meski omsetnya fluktuatif berkisar antara Rp500.000 hingga Rp1.000.000 per bulan momen tertentu seperti menjelang Idul Fitri menjadi masa panen pesanan.

“Kalau lebaran bisa ramai banget. Banyak yang pesan buat suguhan hari raya,” katanya.

Pelanggan kembang ros ini tak hanya berasal dari Karawang, tapi juga menyebar hingga Bekasi dan Cikarang. Untuk pengiriman luar kota, Ibu Sartikah mengandalkan layanan ojek daring.

Di tengah kompetisi ketat UMKM kuliner, Ibu Sartikah tetap percaya pada kekuatan rasa.

“Persaingan pasti ada, tapi saya utamakan rasa dan kualitas. Biar pelanggan nggak lari ke yang lain,” tegasnya.

Meski masih ada sebagian masyarakat yang belum mengenal kembang ros, apalagi dengan nama lokal “sorodot jempol”, Sartikah optimis usahanya akan terus berkembang.

“Semoga makin banyak yang tahu, makin banyak yang pesan. Ini memang makanan kampung, tapi harus tetap hidup,” pungkasnya.(**”)

Tim penulis :

Syadhilah SM/Ochim/Fakta Jabar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Mengabdi Sejak 2006, Guru PAI Ini Masih Terima Gaji Rp500 Ribu: “Miris, Tapi Tetap Mengajar”

Karawang – Di balik suara riuh anak-anak belajar di kelas, ...