Gentrifikasi Iklim di Pesisir Indonesia: Langkah Adaptasi Perubahan Iklim yang Justru Meminggirkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh: Umar Abdurrahman, S.Si., M.Si.

Fenomena Baru di Tengah Krisis Iklim

Gentrifikasi iklim adalah proses ketika dampak perubahan iklim dan strategi adaptasinya justru memicu perubahan nilai tanah, komposisi demografi, dan akses terhadap sumber daya di wilayah tertentu. Fenomena ini membuat masyarakat berpenghasilan rendah terpinggirkan akibat kenaikan harga tanah dan sewa yang dipicu oleh proyek adaptasi iklim atau persepsi risiko bencana.

Di pesisir Indonesia, fenomena ini sering terjadi melalui tiga jalur utama: (1) adaptasi iklim seperti pembangunan tanggul laut dan kawasan konservasi, (2) mitigasi iklim seperti pengembangan ekowisata dan kawasan karbon biru, dan (3) perpindahan risiko di mana kelompok kaya bermigrasi ke kawasan pesisir yang dianggap lebih aman.

Ketika Adaptasi Menjadi Eksklusif

Upaya adaptasi iklim sering dipandang sebagai langkah positif. Namun, tanpa perencanaan yang inklusif, langkah ini dapat mempercepat gentrifikasi. Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Jakarta Utara, misalnya, memang meningkatkan perlindungan banjir, tetapi juga mendorong kenaikan harga properti dan memindahkan komunitas nelayan ke lokasi yang justru lebih rentan.

 

Ilustrasi ketimpangan pembangunan (foto: Bagus Indahono/AAP, The Conservation)

Fenomena serupa juga terlihat di Teluk Benoa, Bali, di mana proyek konservasi dan pengembangan ekowisata memicu kekhawatiran akan hilangnya akses nelayan lokal terhadap wilayah tangkap tradisional. Studi Climateworks Centre menegaskan bahwa kawasan pesisir yang memiliki perlindungan ekosistem mangrove dan lamun sering menjadi target investasi, sehingga berpotensi mengurangi akses masyarakat lokal (Climateworks Centre, 2023).

Dampak pada Ekosistem Biru dan Budaya Lokal

Indonesia adalah rumah bagi 22% mangrove dunia dan 5% padang lamun global, menjadikannya pusat karbon biru yang sangat penting bagi mitigasi perubahan iklim. Ekosistem ini menyimpan karbon dalam jumlah besar—hingga tiga kali lipat dibandingkan hutan hujan tropis (Alongi, 2014)—dan berperan vital dalam melindungi garis pantai dari abrasi dan badai (Murdiyarso et al., 2015).

Namun, masuknya investasi besar di kawasan pesisir tanpa perlindungan sosial dapat memperburuk degradasi ekosistem. Contohnya, reklamasi di Jakarta dan Bali telah mengubah lahan basah dan mangrove menjadi kawasan komersial (Setiawan et al., 2021). Hilangnya ekosistem ini tidak hanya melepaskan simpanan karbon, tetapi juga menghilangkan perlindungan alami bagi masyarakat pesisir (Friess et al., 2019).

Warga Bali yang berdemo menolak reklamasi Teluk Benoa (foto: petisi.co)

Selain aspek ekologis, gentrifikasi iklim juga menggerus budaya lokal. Di Bali, alih fungsi lahan pertanian menjadi vila wisata mengurangi lahan garapan, mengubah lanskap sosial, dan memarginalkan petani serta nelayan.

Bahaya Ketimpangan Sosial di Pesisir

Gentrifikasi iklim menciptakan paradoks: wilayah yang diadaptasi untuk menghadapi perubahan iklim menjadi lebih aman, tetapi hanya dapat diakses oleh kelompok yang mampu membeli atau menyewa dengan harga tinggi. Sementara itu, kelompok rentan harus pindah ke kawasan yang lebih berisiko banjir dan abrasi (Keenan et al., 2018).

Banjir rob yang tidak hanya terjadi pada pemukiman penduduk ekonomi rendah, namun juga ekonomi tinggi (foto:Okezone)

Contoh di Banda Neira dan Ternate menunjukkan bahwa investasi properti lebih terkonsentrasi di wilayah dengan infrastruktur memadai, sementara kampung pesisir rendah tetap menghadapi risiko iklim tinggi tanpa dukungan adaptasi memadai. Dampak ini sejalan dengan temuan Roberts et al. (2023) bahwa tanpa kebijakan perlindungan sosial, strategi adaptasi dapat memperburuk ketimpangan ekonomi.

Pelajaran dari Tata Kelola Adaptif

Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa tata kelola adaptasi iklim yang multi-level dan multi-aktor dapat mengurangi risiko kegagalan kebijakan (Arnold & Cartaxo, 2022). Adaptive governance menekankan pentingnya fleksibilitas hukum, koordinasi lintas sektor, dan keterlibatan komunitas rentan dalam perencanaan.

Banjir pesisir di Pekalongan yang terjadi akibat perubahan iklim (foto: detiknews)

Di Indonesia, tantangan koordinasi serupa juga terjadi dalam pengelolaan ekosistem karbon biru. Kewenangan mangrove berada di dua kementerian berbeda—Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—yang sering menyebabkan tumpang tindih regulasi.

Strategi Menghadapi Gentrifikasi Iklim di Pesisir

Untuk mencegah gentrifikasi iklim yang merugikan masyarakat lokal, setidaknya ada empat langkah strategis yang perlu dilakukan:

Integrasi perlindungan sosial dalam kebijakan adaptasi – Program seperti subsidi perumahan pesisir, jaminan akses lahan, dan dukungan mata pencaharian alternatif harus menjadi bagian dari proyek adaptasi (Anguelovski et al., 2016).

Pengendalian spekulasi tanah – Regulasi untuk membatasi pembelian lahan pesisir oleh investor besar tanpa keterlibatan komunitas lokal dapat mengurangi tekanan harga properti (Hernández et al., 2018).

Perlindungan ekosistem biru berbasis komunitas – Pendekatan seperti silvofishery yang menggabungkan budidaya perikanan dengan rehabilitasi mangrove terbukti memberikan manfaat ganda bagi ekologi dan ekonomi (Wylie et al., 2016).

Pemetaan risiko dan zonasi adaptif – Mengidentifikasi wilayah yang aman iklim tetapi rawan gentrifikasi untuk diberikan regulasi penggunaan lahan yang adil (Klein et al., 2019).

Menjaga Pesisir untuk Semua

Pesisir Indonesia adalah garis depan dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus sumber kehidupan jutaan orang. Mengelola adaptasi iklim tanpa memicu gentrifikasi membutuhkan sinergi antara perlindungan ekosistem, keadilan sosial, dan pengelolaan ruang yang berkelanjutan.

Jika tidak, adaptasi yang dimaksudkan untuk melindungi justru akan menjadi alat eksklusi sosial. Dengan mengadopsi tata kelola adaptif yang inklusif dan berbasis bukti ilmiah, Indonesia dapat memastikan bahwa transisi menuju pesisir yang tangguh iklim tidak meninggalkan siapa pun di belakang.(*)

Daftar Pustaka

Alongi, D. M. (2014). Carbon cycling and storage in mangrove forests. Annual Review of Marine Science, 6, 195–219. https://doi.org/10.1146/annurev-marine-010213-135020

Anguelovski, I., Shi, L., Chu, E., et al. (2016). Equity impacts of urban land use planning for climate adaptation: Critical perspectives from the Global North and South. Journal of Planning Education and Research, 36(3), 333–348. https://doi.org/10.1177/0739456X16645166

Arnold, T., & Cartaxo, T. (2022). Adaptive urban climate governance in Europe. In Urban Climate Resilience. Routledge.

Climateworks Centre. (2023). Sea of opportunity: protecting mangroves and seagrass could boost Indonesia’s new climate targets.

Friess, D. A., et al. (2019). The state of the world’s mangrove forests: Past, present, and future. Annual Review of Environment and Resources, 44, 89–115. https://doi.org/10.1146/annurev-environ-101718-033302

Hernández, D., et al. (2018). Climate gentrification: From theory to empiricism in Miami-Dade County, Florida. Environmental Research Letters, 13(5), 054001. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aabb32

Keenan, J. M., Hill, T., & Gumber, A. (2018). Climate gentrification: From theory to empiricism in Miami-Dade County, Florida. Environmental Research Letters, 13(5), 054001. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aabb32

Klein, R. J. T., et al. (2019). Adaptation opportunities, constraints, and limits. In IPCC Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate.

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., et al. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change, 5, 1089–1092. https://doi.org/10.1038/nclimate2734

Roberts, M., Deuskar, C., & Jones, N. (2023). Unlivable: What the Urban Heat Island Effect Means for East Asia’s Cities. World Bank. https://doi.org/10.1596/40771

Wylie, L., et al. (2016). Community engagement in blue carbon projects: Lessons from global case studies. Ocean & Coastal Management, 134, 102–112. https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2016.10.017

Foto dan Ilustrasi

https://megapolitan.okezone.com/read/2020/06/07/338/2225808/banjir-rob-parah-terjang-perumahan-elite-pantai-mutiara-bagaimana-nasib-rumah-ahok

https://news.detik.com/foto-news/d-5930276/potret-banjir-pekalongan-dari-udara?page=3

https://theconversation.com/masalah-ketimpangan-air-di-jakarta-bukan-semata-mata-berasal-dari-jaringan-air-pam-92360

Sambut Komisi VII DPR RI, Gelar Demo Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Marine-Heritage: Perspektif Baru dalam Kebencanaan Pesisir Indonesia

Oleh: Umar Abdurrahman, S.Si., M.Si. Dari Geo-Heritage ke Marine-Heritage Konsep ...