
cover buku membongkar sejarah Karawang
Sejarah Nama Karawang
Setiap daerah atau wilayah mempunyai cerita atau sejarah masing-masing. Dari zaman terdahulu hingga kini menjadi daerah maju dan berkembang. Tak terkecuali, Kabupaten Karawang, Jawa Barat mempunya Sejarah begitu penjang. Dari nama Karawang hingga terbentuk kabupaten yang mempunyai Sejarah Istimewa di Jawa Barat.
Namun demikian, bercerita tentang Sejarah mempunyai versi dan referensi masing-masing. Tetapi, fakta jabar menulis Sejarah Karawang ini dari buku ‘Membongkar Sejarah Karawang dari Lembaga Kajian Budayawan Sundapura Karawang oleh Asep R Sundapura dengan kata pengantar Asep Irawan Syafei (CEO Fakta Jabar/tokoh masyarakat Karawang, Dian Kurnia, Hermawan El Fauzan dan Oni SOS.
Punten ka Sesepuh Agung.
Abdi rek ngawitan ngidung.
Ngadadarkeun Dayeuh Agung.
Lumayan keur tamba bingung (Kidung Karawang, bait 1)
Masyarakat Karawang memiliki kebanggaan yang sangat luar biasa terhadap sejarah daerahnya. Kadang, kebanggaannya tersebut terkesan mengejutkan bagi orang luar. Kebanggaan itu terwariskan dari generasi ke generasi yang mengabarkan tentang luhungnya Karawang, betapa tua dan tinggi peradabannya serta menyimpan banyak misteri yang konon nyaris tak terpahami oleh para ahli sejarah sekalipun. Orang Karawang, dengan bangga punya pendapat yang bahkan cukup ekstrim bagi kalangan sejarawan Indonesia seperti keyakinan bahwa Karawang merupakan lokasi diturunkannya Nabi Adam, puseur (pusat) peradaban dunia, cikal bakal kota tak tertandingi di masa depan, tempat berkumpulnya para tokoh sejarah nusantara, serta pemegang kunci rahasia sejarah dunia. Cerita-cerita seperti itu banyak beredar di masyarakat dan menjadi sebuah keyakinan batiniah dan mitos lokal yang mewarnai pandangan historis masyarakat Karawang sejak era agraris sampai era industri sekarang.
Mengungkap Sejarah Karawang tidak mudah. Konon, sejarah Karawang itu tersirat dan hanya akan terungkap lamun geus waktuna. Karawang tidak banyak memiliki referensi literal, apalagi prasasti, naskah, babad dan lainnya. Itulah sebabnya sejauh ini belum banyak yang bisa terungkap dari perjalanan masyarakat kuno Karawang, khususnya sebelum abad 16 Masehi. Tapi di sisi lain, Karawang memiliki banyak mitos yang sangat luar biasa, yang tidak bisa diabaikan begitu saja dalam khazanah sejarah lokal. Itulah modalitas terbesar dalam perjalanan historis masyarakat Karawang.
Salah satu keunikan dari Sejarah Karawang adalah Namanya itu sendiri. Nama Karawang memiliki rahasia yang sampai sejauh ini belum dapat terungkap secara gamblang. Meskipun nama Karawang dijumpai pula di tempat lain seperti di Sukabumi dan Kalimantan, namun berdasarkan historiografi nama Karawang di Kabupaten Karawang memiliki usia yang jauh lebih tua dan legendaris. Nama Karawang sendiri adalah sebuah sejarah.
Pujangga terkenal asal Inggris, Shaksepere, berkata, Dapalah arti sebuah nama; Namun dalam ajaran Islam, nama adalah doa, kaya makne dan mengandung nilai filosofi yang sangat tinggi. Bahkan jika kita berkaca pada sejarah awal penciptaan Sejarah Bumi, salah satu nilai keunggulan manusia adalah kemampuannya dalam mengenali nama,
“Wa allama adamal-asma-a kullaha tsummaarodholum alal-umata ikatifa qola anbiu-ni bi asma-i ha-ula-i in kuntum shodiqin”
Artinya:
Dan (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (heade benda)seluruhnya, kemudian mengemukakaumya kepada pa malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar.” (QS 2 Al Baqoroh: 31)
Ilmu sejarah juga memandang penting keberadaan namalinama sehingga para ahlipun merasa perlu merumuskan bahasan keilmuan yang dinamakan Toponimi. Sedangkan dalam tradisi pantun dikenal ungkapan bahwa segala sesuatu yang diberi nama maka mengandung maksud Dengan demikian, dalam kajian tentang Sejarah Karawang, kita akan mengawalinya dengan mengupas terlebih dahulu Riwayat Nama Karawang berdasarkan lingkup wilayahnya dari mulai sebuah kampung hingga kemudian berkembang menjadi kabupaten agung yang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang, Ciasem, Wanayasa dan akhirnya menjadi Kabupaten Karawang seperti sekarang. Jadi, sebelum kita terlalu jauh bertualang ke jaman Seh Kuro turun dari perahu dan menginjak tanah pinggir Citarum atau jaman Purnawarman mempersembahkan sapi untuk para resi, kita akan membahas dulu, apa arti nama Karawang dan bagaimana sejarahnya sampai kota ini dinamakan Karawang. Trus, kapan nama Karawang mulai ada di muka bumi, karena tidak mungkin nama Karawang muncul begitu saja tanpa ada sesuatu yang menjadi latar belakangnya.
Berita Cina (Abad 3 Masehi)
Catatan tertulis yang pertama kali mengindikasikan keberadaan nama Karawang adalah Nan Chou I Wu Chih (Catatan Dari Daerah Selatan). Ini bukan kitab kungfu, apalagi kitab suci yang dicari Kera Sakti dan Biksu Suci dalam perjalanan ke barat. Nan Chou I Wu Chih adalah sebuah catatan perjalanan Cina bernama Wan Chen dari Dinasti Wu pada 220-280 Masehi. Wan Chen mencatat bahwa di daerah selatan atau yang oleh Bangsa Cina dinamakan Kun-lun-po (nusantara), terdapat sebuah pusat perdagangan yang sangat penting bernama Koying, yang memiliki pelabuhan besar, dan menjadi tempat persinggahan terakhir kapal-kapal dari India. Nama Koying juga terdokumentasikan dalam laporan utusan Kaisar Dinasti Wu, Ch’ih Wu, untuk kerajaan Hindu Funan yang berada di sekitar Sungai Mekong (Vietnam) pada abad ke-3. Utusan yang bernama Chung-Lang Kang-Tai dan Chu-Ying mencatat adanya sebuah tempat bernama Ge-ying, yang juga diterjemahkan sama dengan Koying, yang merupakan pusat perdagangan yang mengekspor mutiara, permata, emas, dan kacang-kacangan. Informasi dari Wan-Chen dan Kang-Tai tentang lokasi Koying menurut beberapa peneliti merujuk pada sebuah kerajaan yang berada di Indonesia bagian barat. Adapun tujuan para utusan Cina ke Funan adalah untuk mencari tahu rute perdagangan maritim melalui laut Asia Tenggara guna memperoleh barang-barang dan India dan Timur-Tengah. Sementara itu seorang biksu bernama Bodhibadra (359-429) yang sedang melakukan perjalanan menuju Cina juga mencatat adanya sebuah tempat bernama Koying.
Sampai sekarang, lokasi Koying belum dapat dipastikan sepeni halnya kerajaan-kerajaan kuno lainnya yang berdiri pada awal Masehi Para peneliti dari berbagai negara memiliki teori masing-masing tentang lokasi Koying. Namun peneliti asal Cornell University, Oliver Wiliam Wolter, memprediksi bahwa nama Koying merujuk pada nama Karawang Sebutan Koying sama dengan sebutan Kawang, yang sekarang menunjuk pada lokasi Karawang. Peneliti lainnya seperti Profesor McCoy dan juga Profesor Hasan Djafar, berpendapat sama dan mendasarkan argumennya akurasi pengucapan kata pada abad 3 Masehi dengan rekontrusi pelapalan Koying dengan Kawang, dan akhirnya menjadi Karawang. Dan jika hasil penelitian itu dibenarkan maka berarti nama Karawang sudah ada sejak awal Masehi, dan pengucapannya dalam bahasa Cina pada masa itu adalah Koying. Sedangkan Ptolemy menyebutnya Argyre. Interpretasi Koying menurut tradisi pantun kemungkinan mengarah pada Palabuhan Kuta Tambaga seperti yang disebut dalam Pantun Pakujajar Beukah Kembang.”
Naskah Sunda (Abad 15 Masehi)
Catatan tertulis lainnya yang mendokumentasikan secara presisi nama Karawang adalah Naskah Bujangga Manik, sebuah catatan perjalanan seorang pangeran pengembara dari Kerajaan Pajajaran. Berdasarkan penelitian Teeuw, diduga bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung atau ditulis pada zaman Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan di Nusantara, terutama sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 Naskahnya terbuat dari daun lontar, dan diperkirakan ditulis pada awal abad 15 Masehi. Naskahnya sekarang ini terdapat di Perpustakaan Bodleiy Oxford sejak tahun 1627, hibah dari seorang saudagar bernama Andrew James.
Naskah tersebut mencatat perjalanan Bujangga Manik yang dua kali melakukan pengembaraan mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Mula-mula, Bujangga Manik berangkat ke Jawa Timur, selanjutnya pulang ke Pakuan melalui jalan laut dengan menumpang kapal yang berlayar dari Malaka. Kedua kali, Bujangga Manik kembali mengembara ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu menyeberang ke Bali. Setelah pulang, ia memilih hidup mengasingkan diri dengan bertapa di sebuah gunung di Tatar Sunda hingga mencapai moksanya. Sambil bertualang, Bujangga Manik mencatat setiap nama tempat yang dilewatinya. Ada hampir 450 lebih nama tempat yang terarsipkan dalam catatan Bujangga Manik yang sebagian masih dapat dikenali hingga sekarang, termasuk tempat-tempat di wilayah Karawang seperti Cigeuntis, Citarum, Cilamaya, Cihoe, Goha, Ramanea dan lainnya. Naskah Bujangga Manik terdiri atas 1758 baris. Dan pada baris naskah ke 361 tertulis :
Leteng karang ti Karawang.
Leteng susuh ti Malayu.
Pamuat Aki Puhawang.
Dipinangan pinang tiwi.
Pinang tiwi ngubu cai.
Artinya ;
Apu karang dari Karawang,
Apu cangkang kerang dari Malayu,
didatangkan oleh nahkoda. Ditambahkan bai pinang tiwi,
pinang tiwi yang direbus.
Teks Bujangga Manik menceritakan bahwa seorang put Pajajaran bernama Jompong Larang jatuh cinta kepada Bujangga Mania Jompong Larang kemudian memberi hadiah kepada Bujangga Manik sebagai tanda cintanya. Diantara barang-barang yang dihadiahkan oleh Jompong Larang adalah leteng karang. Pada masa itu leteng termasuk barang yang cukup populer, dan bernilai tinggi. Dalam masyarakat Sunda kuno, leteng merupakan barang yang sangat dibutuhkan. Leteng biasa digunakan sebagai seupaheun yang bermanfaat untuk perawatan gig, dicampur dengan pinang dan seureuh. Pada jaman Pajajaran dikenal dua jenis leteng, yakni leteng cangkang kerang yang didatangkan dan Melayu, dan leteng karang dari Karawang. Yang disebut leteng karang adalah batuan kapur yang diendapkan dalam air selama berhan-jari, yang sekarang dikenal dengan nama apu. Batuan kapur bahan pembuatan apu tersebut berasal dari pegunungan kapur (karst) yang berada di Karawang Selatan. Berdasarkan penelitian ahli geologi, batuan kapur di pegunungan Karawang Selatan ternyata sudah dimanfaatkan sejak masa Tarumanagara sebagai bahan pelapis (plester) bangunan Candi Batujaya untuk membuat bangunan lebih tahan cuaca.
Bujangga Manik menyebutkan bahwa Leteng karang berasal dari Karawang. Dan berdasarkan penelitian H. Ten Dam mengenai Jalur Highway Pajajaran, diketahui bahwa antara Pakuan dan Tanjung Pura (Karawang) terdapat jalur darat via Cileungsi dan Cibarusah. Namun adanya penyebutan Aki puhawang (nahkoda) menunjukkan jika leteng korang dari pegunungan kapur di Karawang Selatan dikirim ke Pakuannya tidak melalui jalan darat. Leteng karang diangkut melalui Sungai Cibeet oleh para tarahion (penarik perahu) ke pelabuhan sungai Tanjung Pura, dan dari sana dimuat oleh puhawang untuk dibawa ke pelabuhan laut Tanjung Karawang di Mura Citarum, dan selanjutnya dikirim ke Sunda Kalapa. Dari Sunda Kalapa leteng karang itu menempuh perjalanan selama dua hari untuk tiba di Pakuan. Adanya pengangkutan leteng karang lewat laut menunjukkan bahwa jalur darat Pakuan dan Tanjung Pura nampaknya sudah tidak efektif lagi untuk jalur perdagangan.
Berita Portugis (Abad 15)
Tahun 1512-1515 Tome Pires menulis sebuah buku berjudul Suma Oriental. Buku tersebut berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16. Catatan ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Portugis tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu sehingga tidak pernah diterbitkan. Buku tersebut baru diterbitkan pada tahun 1944 oleh Armando Z. Cortesão berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre des Deputes di Paris. Suma Oriental mencatat tentang kondisi sosial ekonomi di wilayah Sunda. Tome Pires tidak secara langsung menyebut tentang Pelabuhan Karawang. Namun berdasarkan interpretasi oleh sejumlah ahli sejarah lokal seperti Uka Tjandrasasmita dan Prof. Ekadjati diketahui bahwa pada masa itu terdapat juga Pelabuhan Karawang di Muara Citarum. Uka Tjandrasasmita menulis bahwa dari kerajaan Sunda diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari berbagai daerah di pedalaman melalui jalur perairan. Salah satu jalur perairan tersebut adalah Muara Citarum.” Menurut kesaksian Tome Pires yang dianalisa oleh Uka Tjandrasasmita, bahwa sejak tahun 1513, Karawang merupakan salah satu dari tujuh pelabuhan yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Bagi Kerajaan Sunda, pelabuhan Karawang tidak hanya sekadar berfungsi sebagai pusat perdagangan melainkan juga sebagai pintu masuk wilayah pedalaman bagian timur dengan menyusuri beberapa sungai besar seperti Citarum. 5 Pelabuhan Kerajaan Sunda lainnya adalah : fort of Bantam, the fort of Pontang (Pomdam), the fort of Cheguide, the fort of Tamgaram, the fort of Calapa, the fort of Chi Manuk (Chemanuk).
Berita Portugis lainnya yang mencatat adanya nama Karawang adalah Joae de Barros. Sejarawan Portugis, Joae de Barros mencatat nama Karawang dalam bukunya yang berjudul Da Asia. Draft pertama buku de Barros ini selesai ditulis tahun 1539 yang terdiri dari 3 decada (decada 4 belum selesai ditulis). Tahun 1552-1564 ke-4 decada tersebut diterbitkan. Dalam Decadas da Asia IV yang diterbitkan tahun 1615 setelah Barros meninggal dan pekerjaannya diteruskan oleh Lavanha dan Diogo do Couto, tertulis gambaran tentang wilayah Jawa Barat. Antara lain dikemukakan bahwa kerajaan Sunda mempunya ibukota bernama Dayo (dayeuh/ kota) yang terletak di pedalaman. Kota itu berpenduduk 50.000 orang dan memiliki 100.000 tentara. Barros juga mencatat pelabuhan pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda,
Esta Ilha de Sunda he terra mais montuosa por dentro a Jaŭ a, tem seis portos de mar notaveis, Chiamo que oestremo da Ilha, Xacatara por outro nome Caravam. Tangaram, Cheguide, Pondang, e Bintam, que să o de grande trafego, por rază o do commercio que se aqui vem fazer, assi da Jaŭ а. como de Malaca e Çamatra.
Pulau Sunda adalah negeri yang berada di pedalaman, dan lebih bergunung-gunung daripada Jawa, dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka yaitu: Chiamo (Cimanuk) di ujung pulaunya, Nacatara atau dengan nama lain Caravam (Karawang). Tangaram (Tangerang), Cheguide (Cigede), Pontang, dan Bintam (Banten). Itulah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra.
Berita Belanda (Abad 15-16 Masehi)
Sejak itu jalur perdagangan di Laut Mediterania berubah karena Tahun 1453 Konstantinopel berhasil dikuasai oleh Bangsa Turki Turki melakukan blokade kepada bangsa Eropa. Salah satunya akibatnya adalah terputusnya pasokan rempah- rempah ke wilayah Eropa, padahal komoditi tersebut merupakan barang yang sangat dibutuhkan. Situasi itu mendorong bangsa bangsa Kristen Eropa mencari rute pelayaran baru ke berbagai wilayah yang menjadi sumber penghasil rempah. Portugis mencapai Malaka tahun 1511 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque dan selanjutnya pada tahun 1512 mereka telah berhasil sampai di Maluku. Fada 7 Juni 2596, ekspedisi para pedagang Belanda dibawah pimpinan Counelis de Houtman tiba di Banten. Van Willem Lodewizck yang ikut dalam rombongan itu mencatat dalam De eerste boecke nama-nama tempat yang dilewatinya di sepanjang pantai utara, termasuk sebuah lokasi yang disebutnya Cravaon.
Cravaon yang berarti Krawang, digambarkan oleh Cournelis De Houtman dalam Eerste de schip vaert de Hollanders near Oost Indian (1595-1597): Half wegen Momtcaon ende lacatra, aen eenen uyt-hoeck oft hooft, leyt Cravaon, dwelck een groot dorp is, bewoont van visschers, om de abondantie vanden visch, hebbende een riviere die met drie monden inde Zee is loopende, bahwa diantara Pamanukan dan Jakarta terdapat sebuah tanjung bernama Karawang, dimana di sana terdapat sebuah desa nelayan yang besar, yang berada di titik pertemuan sebuah sungai (Citarum) dengan laut melalui tiga muara.
Pada saat berada dibawah kekuasaan VOC, nama Karawang dalam Daghregister VOC sering disebut dengan Carawangh, Cravaon, atau Craoan yang sebagian besar merujuk pada Tanjung Karawang dan sungai besar yang mengalir ke pedalamanya (Citarum).
Berita Jawa (Abad 16-18 Masehi)
Kitab Babad Tanah Jawi adalah sebuah karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Kitab tersebut mengupas berbagai peristiwa yang terjadi di Pulau Jawa, dari mulai kisah para nabi, nenek moyang kerajaan-kerajaan Hindu hingga kisah Mataram Islam. Buku Babad Tanah Jawa merupakan terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden.
Dalam Babad Tanah Jawi Karawang dikenal sebagai nama tempat dibuangnya Ciung Wanara ketika masih bayi. Ciung Wanara adalah salah satu penguasa terbesar kerajaan Sunda. Babad Tanah Jawi menerangkan bahwa karena adanya konflik kekuasaan di istana kerajaan, maka bayi Ciung Wanara dihanyutkan ke Sungai Karawang (Citarum), dan kemudian bayi tersebut dipungut oleh seorang penduduk yang dinamakan Ki Buyut Karawang, karena dia tinggal di sekitar Sungai Karawang, Kabucal ing lepen Karawang, sang natainggih sampun marengi, jabang bayi kalėbétaken ing tabêla, lajêng dipun kelèkakén inglēpen Karawang. “Tabela ingkang dipun kelèkakén watu kapëndhet ing tiyang mancung, anama Kyai Buyut ing Karawang.”
Dalam bagian lain, Babad Tanah Jawi juga menyebutkan nama Karawang sebagai salah satu wilayah yang dikuasai VOC pada tahun 1677. Betawi, Krawang tekan Kali Indramayu, Priyangan tekan Segara Kidul, Semarang lan wewengkone. Cirebon wus ngaub marang VOC.
Sementara di bagian lain Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa daerah bernama Karawang tersebut memiliki wilayah luas yang terbentang antara Cikao, Laut Jawa dan Sungai Cilamaya.
Berita Jawa lainnya, yakni Babad Pajang yang diambil dari Babad Meinsma tahun 1874, menceritakan bahwa ketika para wali sedang merencanakan pembangunan masjid Demak yang kedua kalinya, terdapat nama Pangeran Karawang yang ikut membantu pembangunan masjid tersebut, bersama Seh Bentong, dan para wali serta beberapa penguasa daerah lainnya yang sudah masuk Islam: Pangeran ing Jambu Karang lan Pangeran Karawang, myang seh Wali Lanang iku, tuwin seh waliyul Islam Myang Seh Suta Maharaja, Seh para klawan, Seh Banthong.
Seh Bentong adalah penyebar ajaran Islam di Karawang, dan dia dikenal sebagai murid pertama Seh Kuro. Namun, sosok tentang Pangeran Karawang tidak ada keterangannya. Besar kemungkinan dia anggota keluarga Cirebon yang ditempatkan di Tanjung Pura mengingat adanya informasi dari Sejarah Cirebon bahwa Karawang di bagian timur Citarum masuk dalam kekuasaan Cirebon setelah runtuhnya Pajajaran.
Kesimpulan
Sejak abad 3 Masehi. Namun jika melihat kebudayaan yang Berdasarkan penelitian O. W Wolter, nama Karawang sudah ada melatarbelakanginya maka sejarah Karawang diperkirakan lebih tua lagi, karena sebelum abad ke-tiga, nusantara sudah menjalin kontak dengan India dan Funan. Emporium Karawang (Koying) merujuk pada sebuah pelabuhan besar di Muara Citarum. Menurut berita Cina Negara Koying dianggap sebagai kerajaan maritim berpengaruh yang memainkan peran strategis dalam perdagangan dengan Kerajaan Funan dan India. Setelah abad 5 Masehi, nama Koying atau Karawang tidak tercatat lagi dalam To-lo-mo literasi historis. Dan sebagai gantinya muricul (Tarumanagara) untuk menyebut wilayah di sekitar Muara Citarum.
Nama Karawang baru tercatat lagi pada abad 15 dalam dokumen Portugis dengan pengucapan Caravam. Nama Caravam menunjuk pada sebuah pelabuhan yang dikuasai Kerajaan Sunda yang lokasinya sama dengan prediksi lokasi Koying. Catatan para pelaut awal Belanda juga menghubungkan nama Karawang sebagai sebuah tanjung di lokasi yang sama. Demikian juga pada masa kekuasaan Mataram dan VOC, nama Karawang banyak dihubungkan dengan nama sungai (Citarum) dan tanjung.
Naskah Sunda Kuna Bujangga Manik yang menyebut Karawang sebagai daerah penghasil leteng karang menunjukkan bahwa daerah Karawang bukan hanya tanjung dan pelabuhan di Muara Citarum saja, tapi juga meliputi pegunungan kapur di Karawang Selatan karena bahan dasar leteng karang berupa batuan gamping hanya terdapat di sana. Dan hal itu sesuai juga dengan informasi dari naskah Punika Sajarah Sadaya Kang Tedak Saking Kangjeng Nabi Adam, yang menyebutkan bahwa wilayah bernama Karawang dimulai dari Cikao sampai Laut Jawa, dan ke bagian timurnya sampai Sungai Cilamaya. Adapun pusat kotanya disebut Tanjung Pura seperti tercatat dalam Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi dengan kalimat, tanjungpura haneng Krawang. Sedangkan pusat kota yang menyandang nama Karawang baru dimulai pada abad 16 sebagaimana diberitakan dalam Babad Tanah Jawi pahenggonan Ki Singaprebangsa kapranahaken dateing Babakan Krawang. (cim/fj/sumber buku membongkar Sejarah Karawang-Lembaga Kajian Budaya Sundapura Karawang Asep Sundapura)
Fakta Jabar Cerdas Mengupas Lugas Mengulas Selalu Menjadi Referensi