Cerita Rakyat : Ketika Sawah Berganti Tembok Beton, Perlawanan Petani Menjadi Suara Agraria Nasional

Kantor Desa Telukjambe

Karawang – Dahulu, Telukjambe adalah desa yang tenang. Terletak di Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, desa ini dulunya dikenal sebagai lumbung pangan lokal, dengan hamparan sawah hijau dan kandang-kandang ternak yang menjadi sumber penghidupan utama warganya.

Petani menanam padi, memelihara sapi, dan hidup berdampingan dengan alam, dalam tradisi turun-temurun yang diwariskan dari leluhur.

Namun, ketenangan itu perlahan menghilang sejak kawasan industri dan properti mulai berkembang pesat di sekeliling desa.

Deru ekskavator menggantikan suara jangkrik malam. Bau semen dan debu konstruksi menggeser aroma tanah basah. Dan konflik pun tak terhindarkan.

Kisah bermula pada tahun 2013, ketika PT Pertiwi Lestari mulai mengklaim lahan yang telah lama digarap warga, dengan dasar sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan sejak tahun 1998–1999.

Perusahaan memasang pagar beton dan mengerahkan alat berat ke tengah ladang area yang selama puluhan tahun menjadi sumber nafkah petani Telukjambe.

“Kami hanya mempertahankan tanah yang sudah kami garap selama puluhan tahun,” kata Wawan, seorang petani setempat, Kamis (3/7/2025).

Bagi warga, tanah itu bukan sekadar lahan garapan. Di sanalah mereka membesarkan anak, menanam masa depan, dan membangun komunitas.

Penolakan pun muncul secara spontan. Warga menolak penggusuran yang dianggap tak adil, sebab mereka merasa memiliki hak historis dan sosial atas tanah tersebut.

Puncak ketegangan terjadi pada Oktober 2016. Ekskavator perusahaan meratakan lahan pertanian, mencabik tanaman, dan merobohkan kandang. Suasana memanas, bentrokan fisik tak terhindarkan.

Ratusan warga mengalami luka-luka, puluhan ternak mati, dan sebelas petani ditangkap, sebagian dijatuhi hukuman penjara.

Namun alih-alih surut, perlawanan justru membesar. Dalam tekanan, lahirlah Serikat Tani Telukjambe (STTB) sebuah gerakan petani akar rumput yang tidak hanya menuntut keadilan agraria, tetapi juga memperjuangkan martabat.

Maret 2017, puluhan petani Telukjambe bergerak ke Jakarta. Di depan Istana Negara, mereka melakukan aksi simbolik yang mengguncang nurani, mengubur diri hidup-hidup dalam peti berbalut tanah, sebagai representasi dari nasib mereka yang ‘dikubur’ oleh sistem.

Aksi dramatis ini menarik perhatian langsung Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait seperti ATR/BPN serta KLHK. Perlahan, solusi mulai dibicarakan di meja pemerintah.

Redistribusi dan Perhutanan Sosial: Harapan Baru di Tanah Lama

Setelah proses panjang dan penuh liku, pemerintah akhirnya menawarkan redistribusi lahan sebagai bentuk rekonsiliasi.

Sekitar 600 keluarga petani menerima hak atas lahan tempat tinggal seluas 18 hektare serta lahan garapan kolektif seluas 500 hektare. Skema Perhutanan Sosial (IPHPS) juga diterapkan untuk memberikan legalitas jangka panjang terhadap pengelolaan lahan.

Langkah ini dinilai sebagai angin segar di tengah banyaknya kasus serupa yang kerap menemui jalan buntu.

Meski sebagian lahan telah dikembalikan, konflik Telukjambe belum sepenuhnya selesai. Masih banyak warga yang menanti kepastian, dan pengawasan atas implementasi perjanjian menjadi hal yang mutlak.

Kasus ini membuka mata publik tentang rentannya petani kecil ketika berhadapan dengan kuasa modal dan lemahnya tata kelola agraria.

Telukjambe hari ini tidak hanya menjadi kisah tentang tanah, tapi tentang hak, identitas, dan keteguhan masyarakat akar rumput dalam mempertahankan ruang hidup mereka. Karena bagi mereka, tanah bukan sekadar benda. Ia adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.(***)

Tim Penulis:

Shania AV/Ochim/Fakta Jabar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Seminar Prakerja Batch 2 UNSIKA: Personal Branding Jadi Kunci Siap Bersaing di Dunia Kerja

KARAWANG – Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) kembali menggelar Seminar Prakerja ...