Oleh: Umar Abdurrahman, S.Si., M.Si.
Dari Geo-Heritage ke Marine-Heritage
Konsep geo-heritage lahir dari kesadaran bahwa situs geologi bukan hanya objek fisik, tetapi juga rekam jejak proses bumi yang memiliki nilai ilmiah, edukatif, dan kultural tinggi (Sharples, 1995; Sadry, 2021). Geo-heritage melindungi geodiversity yang langka, unik, dan indah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata berbasis pengetahuan (geotourism).
Geo-Park Dieng sebagai salah satu bagian Geo-Heritage Kawasan Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (foto:Geopark Dieng)
Jika geo-heritage berfokus pada proses geologi yang sering bersifat statis dan berdurasi jutaan tahun, maka marine-heritage dapat menjadi payung baru untuk mengapresiasi dan melindungi warisan alam dan budaya pesisir serta laut yang memiliki dinamika lebih cepat. Proses kelautan seperti gelombang besar, arus, dan tsunami terjadi jauh lebih sering dibandingkan peristiwa geologi, sehingga potensinya sebagai media pembelajaran mitigasi bencana menjadi sangat besar (Cai et al., 2023).
Marine-Heritage: Memori Kolektif dari Bencana Pesisir
Situs kapal di atas rumah sebagai peninggalan Tsunami Aceh, di Lampulo, Aceh (foto: Suparta/acehkini)
Marine-heritage dapat mencakup situs-situs yang menjadi saksi sejarah bencana pesisir. Banda Aceh, misalnya, menyimpan tujuh situs tsunami yang kini berfungsi sebagai pengingat dan media edukasi: Masjid Baiturrahman dan Baiturrahim yang selamat dari gelombang dahsyat, Museum Tsunami yang menyajikan narasi mitigasi, hingga Kapal PLTD Apung yang terdampar di tengah kota sebagai bukti kekuatan tsunami 2004. Situs ini bukan sekadar objek wisata, melainkan sumber pengetahuan kolektif tentang risiko pesisir dan pentingnya kesiapsiagaan (ASG, 2024).
Bangkai kapal sebagai peninggalan bencana tsunami Palu 2018 (foto: iNSulteng)
Contoh lain ada di Palu, Sulawesi Tengah. Bangkai KM Anugerah Perdana 9 yang terhempas ke darat saat tsunami 2018 kini menjadi pengingat kerentanan wilayah terhadap bencana laut. Keberadaan artefak seperti ini selaras dengan prinsip geo-heritage: melindungi dan menginterpretasikan warisan yang punya nilai edukatif dan ilmiah tinggi (Sadry, 2021).
Nilai Strategis Marine-Heritage dalam Mitigasi Bencana
Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 99.000 km dan warisan ekosistem biru yang sangat besar, termasuk 22% mangrove dunia dan 5% padang lamun global (Climateworks Centre, 2023). Ekosistem ini bukan hanya aset ekologi, tetapi juga bagian dari heritage alam yang melindungi pesisir dari badai dan tsunami (Murdiyarso et al., 2015). Mengintegrasikan marine-heritage dalam kebijakan kebencanaan berarti menggabungkan konservasi ekosistem, edukasi publik, dan pariwisata berbasis pengetahuan.
Konsep ini dapat mendukung disaster risk reduction melalui: Edukasi publik: Situs bencana menjadi pusat pembelajaran risiko dan jalur evakuasi. Konservasi ekosistem: Melindungi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sebagai benteng alami. Penguatan identitas lokal: Menjaga narasi sejarah bencana untuk memperkuat kesiapsiagaan komunitas (Roberts et al., 2023).
Mengapa Marine Lebih Relevan untuk Masyarakat Pesisir?
Proses kelautan dan pesisir bersifat lebih frequent dibandingkan peristiwa geologi besar. Ombak, badai, dan perubahan garis pantai terjadi secara periodik dalam skala tahunan atau bulanan. Artinya, masyarakat pesisir memiliki peluang lebih besar untuk belajar langsung dari lingkungannya. Marine-heritage menyediakan living laboratory yang menghubungkan pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari (Wylie et al., 2016).
Ilustrasi Pendidikan bencana bagi Masyarakat pesisir (foto: sindomanado)
Menjadikan Marine-Heritage Pilar Ketahanan Pesisir
Seperti geo-heritage yang diakui oleh UNESCO melalui geopark, marine-heritage dapat memperoleh pengakuan formal dan perlindungan hukum. Pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, akademisi, dan komunitas lokal akan memastikan keberlanjutan nilai ilmiah dan kultural situs tersebut. Di tengah meningkatnya ancaman bencana pesisir akibat perubahan iklim, marine-heritage dapat menjadi perspektif baru yang tidak hanya melestarikan sejarah, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial-ekologis masyarakat pesisir Indonesia.(*)
Daftar Pustaka
ASG. (2024). Situs Tsunami Banda Aceh: Memori Kolektif Bencana 2004. Banda Aceh Tourism Board.
Cai, Z., Sorte, F. A. La, Chen, Y., & Wu, J. (2023). The urban heat island effect decreases bird diversity in Chinese cities. Science of The Total Environment, 166200. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2023.166200
Climateworks Centre. (2023). Sea of opportunity: protecting mangroves and seagrass could boost Indonesia’s new climate targets. Retrieved from https://www.climateworkscentre.org
Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., et al. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change, 5, 1089–1092. https://doi.org/10.1038/nclimate2734
Roberts, M., Deuskar, C., & Jones, N. (2023). Unlivable: What the Urban Heat Island Effect Means for East Asia’s Cities. World Bank. https://doi.org/10.1596/40771
Sadry, B. N. (2021). Geoheritage: An overview. Geoheritage, 13(1), 1–15. https://doi.org/10.1007/s12371-020-00536-0
Sharples, C. (1995). Geoconservation in forest management – principles and procedures. Tasmanian Parks & Wildlife Service.
Wylie, L., et al. (2016). Community engagement in blue carbon projects: Lessons from global case studies. Ocean & Coastal Management, 134, 102–112. https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2016.10.017
Foto dan Ilustrasi:
https://geoparkdieng.com/geosite/
https://www.insulteng.id/sulteng/4169011499/melihat-kapal-terseret-ke-daratan-saksi-bisu-tsunami-palu-dan-donggala-cocok-jadi-tempat-wisata-kota-palu
Pertamina IT Bitung Buka Kelas Pendidikan Nonformal untuk Anak Pesisir Bitung
Situs Wisata Tsunami Aceh, Bukti Bencana Dahsyat 19 Tahun Silam