Heboh Penemuan Lokasi Harta Karun di Kecamatan Pedes! Ada yang Berburu Ada yang Kepo?

FAKTAJABAR.CO.ID – Kabupaten Karawang, sekitar tahun 1998 sempat dihebohkan oleh dugaan adanya harta karun di Desa Kendal Jaya Kecamatan Pedes, tepatnya di Dusun Kobak Kendal. Kala itu, warga dari berbagai dalam dan luar daerah Karawang berbondong-bondong datang, sampai aparat dan perangkat desa perlu turun tangan untuk mengamankan wilayah harta karun yang belum mendapat izin pemerintah. Ada yang berniat serius mencari, ada juga yang hanya kepo dan penasaran.

Hebohnya perburuan harta karun Kendal Jaya, atau daerah yang akrab disapa Kampung Dongkal ini, berawal ketika warga setempat tidak sengaja menemukan benda benda purbakala, khususnya yang terbuat dari emas. Bahkan sekitar tahun 2007, Dusun Kobak Kendal kembali menarik perhatian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional setelah surat kabar maupun media televisi memberitakan temuan benda purbakala terbuat dari emas ini.

Lokasi penemuan harta karun dongkal yang sempat ditulis oleh (Sutayasa,1969: 33), berada di areal persawahan. Untuk mencapai lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dari Pasar Rengasdengklok mengambil arah Kecamatan Pedes sekitar 10 Km.

Dari wawancara Fakta Jabar kepada warga sekitar, salah satunya Kumis (36), warga Sungai Bambu, mengiyakan kehebohan penemuan harta karun emas zaman kerajaan dilokasi Kobak Kendal sempat mengundang warga berburu dan membawa bekal dari lokasi penemuan. Terlebih, setelah ditemukannya fragmen emas berupa manik manik. Penemuan itu bak menjadi magnet sehingga warga berduyun-dutun mendatangi lokasi penemuan untuk sekedar berburu atau mencari bekal.

Bahkan, kata dia, salah satu temannya ada warga yang menemukan emas berbentuk manik manik namun sayangnya penemuan emas tersebut sudah dijual warga yang saat itu berani mengepul hasil temuan emas purbakala. Tak tanggung-tanggung harga yang ditawarpun mencapai jutaan rupiah.

Sekedar diketahui, lokasi penemuan emas purbakala itu sebenarnya dikenal sebagai Situs Kendal Jaya. Dimana tim peneliti menyebutkan bahwa awal peradaban di Pantai Utara Jawa Barat, sekitar tahun 60-an. Ketika itu, Sutayasa dalam laporannya mengatakan tembikar dari komplek Buni menyebutkannya adanya temuan fragmen tembikar dan kerangka manusia. Di antara kerangka manusia tersebut terdapat fragmen logam (pisau).

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan awal antara lain; Areal penggalian yang dilakukan merupakan sebuah komplek kubur dari periode prasejarah akhir atau awal masehi. Periode ini lebih dikenal dengan istilah masa protosejarah, yakni masa dimana masyarakat lokal belum mengenal tulisan tetapi daerah ini telah dikenal, didatangi dan dicatat oleh masyarakat internasional serta telah terjadi kontak yang cukup intensif dengan mereka. Kitab Arthasastra dan Sanka Jataka yang diperkirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebut nama Suvarnabhumi. Kitab Maha Nidesa yang juga berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebutkan nama tempat seperti Java dan Suvarnabhumi.

Pada masa prasejarah sampai protosejarah, masyarakat Pedes Kuna (red : kuno) merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang mengusung budaya komplek tembikar Buni, yakni satu komunitas masyarakat prasejarah yang menghasilkan tembikar dengan pola hias khas Buni, yang hidup di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari daerah Banten sampai Cirebon. Hal ini, didasarkan pada temuan sejumlah kerangka manusia yang disertai dengan sejumlah bekal kubur di antaranya yang paling umum adalah wadah tembikar.

Wadah tembikar yang paling dominan adalah bentuk wadah berupa periuk kecil (kendil) berdiameter antara 10-15 cm beserta tutupnya, piring dengan bibir tepian tegak, dan mangkuk. Wadah-wadah tembikar ini menurut informasi ada yang berisi manik-manik. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari kerangka. Selain wadah tembikar, biasanya dibekali pula dengan senjata tajam berupa parang, pisau atau tombak. Yang menarik bagi sebagian kerangka diberi perhiasan berupa kalung, cincin, penutup mata dan gelang . Kalung terbuat dari manik-manik emas dan manik-manik kaca. Hal ini menandakan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat pendukung Tembikar Buni.

Temuan berupa bandul jala, kapak batu, dan tatap pelandas memberi informasi bahwa masyarakat tembikar Buni bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka juga telah mengenal bercocok tanam dan sebagian telah memiliki keahlian membuat wadah-wadah tembikar dengan teknologi tatap pelandas. Selain itu, mereka telah memiliki keahlian membuat alat-alat logam dan manik-manik. Pembuatan.

Adanya kontak-kontak dengan dunia luar pada masa protosejarah (mungkin sejak masa prasejarah) diketahui dari sejumlah tinggalan manik-manik. Di Asia Tenggara, perdagangan manik-manik tertua mulai sekitar 400 SM dan Arikamedu telah dikenal sebagai pusat produksi manik-manik yang diekspor ke Asia Tenggara. Arikamedu sebagai pusat penghasil manik-manik ini berlangsung sampai abad ke-3 M, kemudian pusat-pusat produksi tersebut berpindah ke Asia Tenggara seperti Klong Thom (Thailand Selatan) dan Oc-eo (Viernam) dan Mantai (Srilangka).

Selain manik-manik kaca, bahan kaca, manik batu karnelian, Tembikar kasar India juga termasuk temuan yang cukup penting. Tembikar-tembikar ini dibawa oleh para pendatang sebagai alat keperluan sehari-hari dan tidak diperdagangan. Tembikar-tembikar kasar India (Arikamedu) telah diproduksi sekitar akhir abad ke-1 sebelum masehi sampai awal abad ke 1 Masehi atau abad ke 2 M.

Adanya jalur perdagangan India – Asia Tenggara termasuk Nusantara, didukung oleh catatan Clodius Ptolomeaus dari abad ke-2-3 Masehi yang membuat peta perjalanan dengan menyebut beberapa tempat di Indonesia, terutama di dekat Selat Sunda. Sebenarnya jalur perdagangan India- Asia Tenggara merupakan jalur pengembangan dari jalur Mediterania – India. Jalur perdagangan ini menghubungkan sejumlah situs-situs dari masa protosejarah sampai masa sejarah. Terdapat sejumlah situs-situs protosejarah di Indonesia antara lain situs Kota Kapur, Air Sugihan, Karangagung (Palembang), Batujaya, Cibuaya (Jawa Barat), Sembiran (Bali), dan Takalar (Sulawesi Selatan).

Dari kontak-kontak yang cukup intensif inilah, terjadi akulturasi kebudayaan antara masyarakat pendatang (India) dan masyarakat lokal (masyarakat pendukung tembikar buni), yakni diterimanya kebudayaan India ke dalam kebudayaan lokal. Agama Hindu dan Budha tampak tumbuh dan berkembang di masyarakat yang telah memiliki tingkat budaya yang cukup tinggi (Komplek Tembikar Buni). Hal ini ditandai dengan kehadiran tujuh bangunan bata (candi) di daerah Cibuaya. Temuan tiga arca Wisnu berbahan batu hitam merupakan arca-arca yang dibawa langsung dari India karena bahan batu seperti itu hanya ditemukan di India. Berdasarkan ikonografinya arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-7/8 masehi (Ferdinandus,2002: 8). Bangunan-bangunan suci (stupa ) untuk umat Budha hadir sebagai sebuah komplek pemujaan yang cukup lengkap dan luas di daerah Batujaya. (rif)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Tiga Kelompok Curanmor Berhasil di Ringkus Polres Karawang

Karawang – Polres Karawang,Jawa Barat berhasil mengungkap kejahatan tiga kelompok ...