Goweser Margasari Regency Wisata Sejarah ke Monumen Rawagede dan Petilasan Jaka Tingkir

KARAWANG – Peristiwa berdarah di Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta menjadi sejarah di tanah air. Tentunya pemuda millennial harus mengetahui tragedi tersebut. Khususnya bagi pemuda Karawang.

Sebab itu, Goweser Margasari Regency melangsungkan wisata sejarah ke Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta pada Sabtu (6/6/2020). Goweser ini mengayuh sepeda dari Dusun Tamelang Timur, Desa Margasari, Kecamatan Karawang menuju Monumen. Tujuannya, selain gowes bersama, juga untuk wisata sejarah yang ada di Kota Pangkal Perjuangan.

Rosman Ochim Alazis, Koordinator Goweser Margasari Regency, mengatakan, road show ke tempat wisata sejarah sekaligus goweser untuk memperkenal tempat-tempat bersejarah di Karawang. Terlebih sejarah itu sifatnya nasional yang berkaitan erat dengan kemerdekaan Republik Indonesia.

“Masih banyak yang belum mengetahui tempat ber-sejarah di Karawang. Maka itu, sekalian olahraga gowes lami lakukan road show agar masyarakat mengetahui daerah-daerah ber-sejarah dalam kemerdekaan negara ini,” ungkapnya.

Dikatakan, ibarat kata sekali dayung seribu pulau terlampaui. Atau sekali gowes badan sehat, ilmu didapatkan.

“Artinya badan sehat, pengetahuan dapat. Meningkatkan wawasan kebangsaan dan jiwa nasionalisme,” kata dia.

Selain ke Monumen Rawagede, rombongan Goweser itu juga berkunjung ke petilasan Jaka Tingkir yang berada di sekitar Monumen Rawagede. Jaraknya tak jauh hanya beberapa meter saja.

“Selanjutnya kami akan ke tempat sejarah lainnya yang ada di Karawang. Baik sejarah kemerdekaan, relegi maupun sejarah Karawang,” pungkasnya.

Kisah Horor Pembantaian Rawagede 70 Tahun Lalu

Bersumber dari Liputan6.com. Pada Senin, 9 Desember 1947 atau tepat 70 tahun lalu, menjadi hari tak terlupakan bagi warga Rawagede, Karawang.

Kenangan menyeramkan itu tak lantas terhapus meski nama tempat telah berganti nama. Rawagede sekarang bernama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang.

Kala itu, 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen, masuk ke Rawagede untuk satu tujuan: mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Oleh prajurit NICA dia dijuluki “Begundal Karawang”.

Kesal buruannya tak ditemukan karena sudah kabur sehari sebelumnya, serdadu Belanda murka. Tak butuh waktu lama, pembantaian membabi buta terjadi. Sebanyak 431 warga Rawagede tewas di sejumlah lokasi.

Hujan yang mengguyur di hari nahas itu membuat suasana kian menyayat. Perempuan dan anak-anak — hanya mereka yang tersisa — mengubur jasad para korban dengan tenaga dan alat seadanya.

Pembantaian Rawagede dianggap tindakan kriminal paling brutal yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.

Seorang veteran tentara Belanda yang terlibat peristiwa tersebut, dalam surat yang dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), membeberkan bagaimana horor yang dialami warga Rawagede saat itu.

“Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)

Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. JUMLAHNYA RATUSAN.” tulis sang veteran tanpa nama yang diketahui berasal dari Wamel, sebuah desa di Provinsi Gerderland, Belanda Timur.

Tak sampai di situ, sang veteran juga menulis bagaimana tentara Belanda kemudian mengumpulkan warga tersisa dan memaksa mereka jongkok dengan tangan dilipat ke belakang leher.

“Semua lelaki ditembak mati, kami dinamai ‘Angkatan Darat Kerajaan’. Semua perempuan ditembak mati, padahal kami datang dari negara demokratis. Semua anak ditembak mati, padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani” tulis dia lagi.

Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban tewas dalam peristiwa mengerikan tersebut. Militer Belanda dalam penjelasan yang dimuat harian Nieuwsgier yang terbit di Jakarta 23 Desember 1947 menyebut, serangan ke Rawagede dilakukan sebagai balasan atas serangan yang kerap muncul dari wilayah tersebut.

Dikabarkan bahwa Belanda pada pekan kedua Desember atau tepatnya 9 Desember 1947 mengepung Desa Rawagede. Tentara Belanda menembak mati 150 orang dan menangkap sembilan orang lainnya.

Namun, sumber lain menyebut korban tewas lebih dari 150 orang. Batu peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, Karawang, menyebut jumlah korban tewas di Rawagede pada 9 Desember 1947 adalah 431 jiwa.

Harm Scholtens, seorang sejarawan Belanda, menemukan angka lain, dari arsip het Hooggerechtshof (Pengadilan Tinggi) di Batavia. Tentara kompeni pada hari itu melakukan delapan atau sembilan kali eksekusi. Mereka menjejerkan penduduk yang akan dilandrat. Setiap barus terdiri dari 12 orang.

Selanjutnya, di luar desa, mereka masih menembak mati sekitar tujuh atau 10 orang penduduk lainnya. Dengan demikian, menurut Harm Scholtens, jumlah korban eksekusi mencapai 100-120 jiwa.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Anak Penderita Stunting di Karawang Meninggal Dunia

Karawang – Seorang anak berusia 3 tahun berinisial Y yang ...