Relevansi Empati Hari Ini

Oleh ; Ikhsan Saepul Anwar

TIDAK sedikit dari banyaknya kejadian yang dimuat di media masa mampu membangkitkan rasa emosional kita, entah itu marah, kecewa, terkejut, putus asa, atau bahkan takut. Ketika suatu peristiwa sedih, penderitaan, atau musibah menjadi fokus pemberitaan, banyak pembaca tergerak untuk menolong. Ada orang atau kelompok masyarakat yang bahkan bersedia mengorbankan kepentingan diri demi meringankan beban mereka yang sedang dirundung musibah tersebut.Seperti contoh baru baru ini, pemberitaan mengenai mobil ambulance yang tidak bisa lewat karena terhalang aksi mahasiswa yang memblokade jalan di sumenep pada hari rabu, 3 November 2021. Yang menimbulkan banyak perdebatan, banyak yang menganggap bahwa mahasiswa tidak cekatan membuka jalan untuk ambulace sehingga menimbulkan kemarahan dari netizen. Pada level internasional, misalnya foto Alan Kurdi, seorang bocah asal Syiria yang tenggelam pada 2 September 2015 ketika hendak menyebrangi Laut Mediterania dalam perjalanan mencari suaka ke Eropa telah Membangkitkan ribuan reakri emosional dari mulai prhatin, kecewa, marah, bahkan kerelaan untuk membantu para imigran yang sedang dalam kesusahan. Paling akhir, kebijakan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang ingin memisahkan anak-anak imigran dari orangtuanya telah memicu kemarahan publik di seluruh dunia. Dalam ilmu sosial, sikap dan perilaku membantu orang yang sedang membutuhkan bersumber pada sifat altruistic yang dimiliki manusia dalam dirinya. Menurut Lawrence A. Blum, altruisme adalah sikap dan dorongan dari dalam diri manusia untuk melakukan suatu Tindakan yang mendatangkan keuntungan atau kebaikan bagi orang lain. Dalam arti itu, sikap dan tindakan yang diambil, baik secara individu maupun kelompok, dalam membantu meringankan penderitaan yang dialami orang lain, nersumber pada dorongan altruis dalam diri manusia.

Menurut Peter Singer, berbagai perilaku manusia dalam menolong orang lain bahkan sampai pada level mengorbankan kepentingannya sendiri memang berasal dari dorongan altruistic dalam diri manusia. Dorongan yang merupakan tendensi-tendensi bawaan sejak lahir ini menjadi cikal bakal lahirnya etis. Bagi Petter Singer, dasar-dasar biologis itulah yang kemudian menjadi alasan mengapa etika adalah bagian dari kondisi alamiah manusia. Dalam perspektifnya, Peter Singer berpendapt bahwa perilaku etis dalam bentuknya yang paling primordial tidak lebih dari perilaku biologis manusia. Nalar dan kemampuan berpikir rasional dan etis adalah keungglan manusia yang berkembang lebih kemudian, dan yang pada akhirnya mampu membantu manusia melampaui tendensi primordial biologisnya untuk bertindak secara etis. Bertindak rasional dan etis, menurut Peter Singer, adalah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang keberlakuannya universal.

Peter Singer tidak menggunakan kata primordial. Meskipun demikian, mengatakan bahwa manusia telah hidup dalam kelompok-kelompok sebelum nalarnya mampu menetapkan prinsip-prinsip moral, Peter Singer sebenarnya sedang merujuk tahap kehidupan yang lebih primordial dimana berbuat baik untuk menolong orang lain telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial. Ia menegaskan bahwa perilaku menolong orang lain semata-mata demi kebaikan orang yang ditolong dan didorong oleh sifat altruistic dalam diri manusia dan binatang.

Kedua, Peter Singer melihat bahwa ada Sebagian pemikir yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang altruis, tetapi bersifat terbatas. Menurut pandangan ini, dalam keadaan tertentu manusia dapat berperilaku egoistis, terutama ketika menghadapi ancaman yang membahayakan dirinya. Dalam menegaskan posisinya bahwa altruisme adalah dorongan alamiah dalam diri manusia untuk bertindak etis demi kebaikan dan keselamatan orang lain, Peter Singer menempuh jalan yang lebih Panjang, yakni mengajukan argumentasi melawan para pembela pemikiran bahwa manusia pada dasaenya adalah makhluk egoistis. Alur berpikir ini dapat dimengerti, karena seluruh argumentasi yang dibangun Peter Singer dalam salahsatu bukunya merupakan usaha menolak pandangan tersebut.

Dengan mengatakan bahwa etika adalah bagian dari kondisi alamiah manusia, Peter sebenarnya telah menegaskan beberapa pandangan etika yang didukungnya. Kritik Peter terhadap teori kontraktarian Thomas Hobbes dan J.J Rousseau eksplisit memperlihatkan posisi Peter yang tidak hanya menolak pandangan Tentang Hakikat Manusia sebagai makhluk egoistis, tetapi juga keyakinannya bahwa etika dan kehidupan etis tidak dipaksakan dari luar.

Baginya berperilaku etis tidak dipaksakan dari luar, melainkan dorongan dari dalam diri manusia sendiri. Ia juga mengatakan bahwa berperilaku etis yang paling alamiah adalah altruisme. Altruisme bahkan sudah ada dan dipraktikan pada dunia binatang. Peter juga menunjukan bagaimana altruisme pada manusia berkembang secara menunjukkan sejalan dengan berkembangnya nalar.

Peran manusia dalam hal ini merupakan bentuk dari tanggungjawab terhadap dirinya, sehingga dapat mempunyai arti dan nilai dalam menjalani hidup ini. Selain peran yang berujung pada tanggung jawab, sifat altruistic yang pada dasarnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kebahagiaan dan kemajuan berbagai bidang seperti ekonomi, pensisikan, serta budaya, hingga kebebasan yang terlepas dari perbedaan suku, bangsa atau agama merupakan tujuan tertinggi dari sebuah nilai etika dalam hubungan antar manusia, serta pengalaman duniawi.

Kalangan Humanisme religius meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya, karena dalam diri manusia terdapat dua naluri, yakni naluri alamiah dan naluri ketuhanan.

Keduanya saling mengisi dan tidak bertentangan. Sehingga dengan naluri itu manusia pada hakikatnya.

Mempunyai pandangan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan berbagai cara peribadatan. Secara universal, etika sebagai ajaran agama Islam juga merupakan sebuah refleksi menusia tentang apa yang dikerjakannya untuk menjadi seorang manusia yang sempurna. Etika menjadi jalan bagi manusia untuk mengenali perbuatan yang baik dan buruk, salah ataupun benar.

Sementara, konsep etika dalam tinjauan filsafat dapat dimaknai sebagai pola kehidupan yang baik dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Adapun etika dan agama merupakan sesuatu yang berkaitan dalam diri manusia. Sehingga dalam islam etika meletakan teks-teks suci sebagai sumber kebenarannya. Kebenaran yang bersumber dari keagamaan tidak akan kehilangan substansi makna di dalamnya.
Apakah di era modern ini manusia masih memiliki sifat altrusitik? Lalu, seberapa relevan sifat altruistik dalam agama? Tentu hari ini sedikit sulit menemukan manusia yang benar-benar memiliki sifat altruistik itu sendiri, tapi bukan berarti altruistic sudah tidak ada dalam diri manusia. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman.

Seperti orang orang yang berada di Kawasan Perumahan yang dikelola oleh pengembang agak sedikit acuh terhadap lingkungan bahkan sesamanya, hal ini berbeda dengan manusia yang tinggal di perkampungan yang masih mengukuhkan sifat gotong royong dalam hidup.

Seperti yang diungkapkan peter singer diatas, sifat altruistik adalah bawaan manusia, Ketika berada di konsisi sesulit apapun manusia masih memilikinya, hanya saja mungkin tidak terlihat sebagai aksi. Contoh ibarat kita sedang kesusuahan dalam finansial, kemudian di suatu tempat kita melihat orang tua yang meminta-minta, tentu kita akan merasa terenyuh dan ingin untuk memberi, mengingat kita juga kesulitan dalam hal itu tentu kita tidak bisa memberi.
Saya yakin orang-orang Indonesia masih memiliki sifat altruistik itu, tapia da beberapa faktor yang menyebabkan mereka seolah apatis. Tapi minimal ia tetap memiliki rasa itu terhadap orang-orang terdekatnya.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Dinkes Catat 655 Kasus DBD, 2 Anak Meninggal Dunia

KARAWANG – Dinas Kesehatan Karawang melakukan penyelidikan epidemiologi sebagai salah ...